WISATA ZIARAH MENDORONG PEREKONOMIAN PROPINSI BANTEN
oleh: Adkhilni MS
Selama 3 tahun terakhir – sejak diresmikannya Banten menjadi propinsi ke-30 Republik Indonesia tanggal 4 Oktober 2000 – propinsi termuda di NKRI ini mulai menggeliat dan menampakan segala aktivitas pembangunan. Terutama di bidang ekonomi, Banten begitu gencarnya menerapkan otonomi daerah dalam bidang ekonomi.
Alhasil, pemekaran propisi dan penerapan otonomi daerah memang telah menciptakan pemerataan pendapatan. Tapi celakanya, bukan pemerataan pendapatan rakyat melainkan pendapatan penguasa.
Terbukti setelah status Banten naik menjadi propinsi, mobil-mobil mewah semakin banyak berseliweran di jalanan kota Serang, kemacetan yang sebelumnya hampir tidak ada kini semakin mudah dijumpai dan Serang yang dahulu merupakan kota kecil yang asri kini semakin terasa sempit dan semrawut. Tetapi ironisnya, makin menjamur pula para pengemis, pengamen, gelandangan, pedagang asongan dan preman yang setiap hari mangkal di perempatan lampu merah.
Padahal melihat segala potensi yang dimiliki oleh propinsi Banten, sudah seharusnyalah propinsi yang berada di ujung barat pulau Jawa ini menjadi propinsi yang makmur sejahtera. Bukan hanya kemakmuran bagi para pejabatnya tapi juga kesejahteraan sosial bagi rakyat-rakyatnya.
Kini, Propinsi Banten hidup dalam suatu era reformasi. Suatu perubahan yang signifikan dalam sistem pemerintahan dewasa ini adalah kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional berdasarkan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah (lihat: UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Dan dengan dibukanya ‘kran’ otonomi daerah seluas-luasnya, memungkinkan konsep ekonomi kerakyatan dapat berkembang dengan dukungan dan kebijakan politik pemerintah. Pemerintah daerah dengan kewenangan yang dimiliki sejatinya dapat mengeluarkan kebijakan politik berupa peraturan perundang-undangan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi kerakyatan.
Wisata Ziarah
Bulan Rabiul Awal adalah bulan Maulid Nabi. Bukan suatu hal yang aneh lagi di Propinsi Banten, jika menjelang tanggal 12 Rabiul Awal, di masjid-masjid dan di musholla-musholla ramai diadakan semacam peringatan kelahiran Rasulullah Muhammad salawalhualaihiwasalam yang biasa disebut Maulid Nabi.
Memang, begitu menyebut nama Banten maka kesan religius dan magis langsung terbayang. Karena memang Banten dari dulu hingga saat ini terkenal dengan kebudayaan yang berazaskan nilai-nilai keagamaan (baca: Islam). Salah satu yang membuat Banten terkenal – selain dari aspek historis – faktor keagamaan dan tempatnya yang strategis turut mengharumkan Banten sebagai objek wisata ziarah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Serang pada tahun 1994 menunjukan bahwa pada bulan-bulan tertentu, termasuk bulan Mulud (Rabiul Awal), beberapa daerah di Banten umumnya atau Serang khususnya ramai di kunjungi para penziarah.
Terutama di Banten Lama pada bulan Mulud, kota tua itu dibanjiri oleh masyarakat yang berniat untuk berziarah di makam para sultan. Daerah asal penziarah meliputi: seluruh daerah Banten dan Jawa Barat; daerah Jawa Tengah seperti: Pekalongan, Tegal, Cilacap; daerah Jawa Timur seperti: Madura, Banyuwangi, Pasuruan, Malang; dari Sumatera Selatan, Lampung, Kertapati, Kotabumi, Tanjungkarang, Kalianda dan Palembang.
Pengunjung wisata ziarah tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga berasal dari mancanegara seperti: Jerman, Jepang, Korea, Swiss, Amerika, Inggris, Australia, Italia, Perancis dan lain-lain.
Latar belakang mereka berziarah secara umum dapat dibedakan ke dalam 3 motivasi: (1) Motivasi keduniaan atau materialistis (2) Motivasi spiritual atau keagamaan (3) Motivasi ilmu pengetahuan (Halawani Michrob et al; 245, 1994)
Wisata ziarah berbeda dengan situs kepurbakalaan. Fakta menunjukan biasanya yang berkunjung ke museum kebanyakan orang-orang yang berpendidikan atau mereka yang tertarik atau senang dengan sejarah atau kepurbakalaan, tapi tidak bagi wisata ziarah. Wisata ziarah menyentuh semua lapisan masyarakat, karena mulai dari golongan berekonomi lemah (the poor) sampai ekonomi tingkat atas (the have), berdatangan dengan alasan supaya usahanya lancar(?).
Menurut hasil wawancara dengan Drs. Tb. Ismetullah Al Abbas, selaku Ketua Yayasan Maulana Hasanudin Banten yang mengurusi Masjid Agung Banten dan lokasi ziarah di samping Masjid Agung Banten, jumlah pengunjung ziarah setiap hari biasa mencapai +500 pengunjung.
Kadang-kadang pada hari Minggu jumlah pengunjung ziarah mencapai + 3500 pengunjung. Hari Senin +700 pengunjung. Sedangkan pada hari Selasa dan Jum’at mengalami penurunan jumlah pengunjung, sekitar +150 – 250 pengunjung. Karena ada anggapan di masyarakat Banten berpergian pada hari Selasa dan Jum’at itu tabu.
Bahkan, menurut data yang diperoleh oleh Halawani Michrob dkk. (1994) banyaknya penziarah biasanya pada bulan Syawal mencapai 6.000 – 7.000 orang (10 hari pertama), 2.000 – 3.000 orang (10 hari kedua), 1.000 – 2.000 orang (10 hari ketiga). Pada bulan Zulhijah pengunjung rata-rata mencapai 4.000 – 6.000 orang (7 hari pertama), 2.000 – 3.000 orang (7 hari kedua), 1.000 – 1.500 orang (7 hari ketiga), 500 – 800 orang (7 hari keempat). Sedangkan, pada bulan Rabiul Awal mencapai 8.000 – 10.000 orang (20 hari pertama), 3.000 – 5.000 orang (10 hari terakhir).
Begitu pula, di Banten Girang (Sempu) setiap bulan Mulud, masjid dan makam kermata itu penuh oleh para peziarah yang datang secara bergantian dari sore sampai pagi hari. Para peziarah, yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang, umur dan jenis kelamin itu membuat daerah sekitar komplek masjid di atas berubah menjadi pasar kaget yang disebut pasar cemplak. Jelaslah bahwa wisata ziarah ternyata mampu meningkatkan hajat hidup orang banyak dengan berbasis pada ekonomi kerakyatan serta mampu meningkatkan gairah pada sektor perekonomian lain seperti perdagangan, pariwisata, perhubungan, dan lain-lain.
Tidak hanya di Banten Lama atau Banten Girang, ternyata masih banyak lagi lokasi ziarah di Propinsi Banten ini yang belum dimanfaatkan secara optimal, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah sendiri. Data yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Propinsi Banten, sedikitnya ada 47 lokasi ziarah yang mungkin untuk dijadikan objek wisata ziarah seperti Banten Lama atau seperti Yogyakarta sekalipun. Tempat-tempat tersebut hampir tersebar di seluruh kota/kabupaten di propinsi Banten. Dari ke 47 lokasi objek wisata religius dan spiritual tersebut, 24 lokasi berada di Kabupaten Serang, Kota Tangerang 6 lokasi, Kabupaten Pandeglang 10 lokasi, Kabupaten Lebak ada 3 lokasi, Kota Cilegon 1 lokasi, dan Kota Tangerang 4 lokasi.
Tapi sayangnya, kurangnya profesionalisme dalam pengelolaan pun berakibat buruk dalam aktivitas wisata ziarah di Banten Lama, karena tidak sedikit pengunjung Banten Lama yang enggan kembali berekreasi di Banten karena melihat kondisi yang semrawut, kotor dan kumuh. Puluhan pedagang tradisional membuat sumpek jalan dengan menggelar dagangannya di sepanjang jalan masuk menuju Masjid Agung Banten. Belum lagi para pengunjung harus ditodong oleh pengemis dan anak-anak yang berlarian memaksa para pengunjung untuk berderma. Seolah Pemda Serang dan Pemprov Banten membiarkan itu semua berjalan apa adanya.
Tidak dapat dipungiri bahwa wisata ziarah turut berperan besar dalam perekonomian rakyat di Propinsi Banten dan secara langsung akan mendorong tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) Propinsi Banten yang merupakan indikator pertumbuhan ekonomi yang dipakai pemerintah. Tapi andai saja dikelola secara profesional dan berbasis pada ekonomi kerakyatan, pasti akan lebih berarti bagi peningkatan ekonomi di propinsi Banten.
Suatu barang akan bernilai jual tinggi, apabila dikemas secara bagus. Teori tersebut lebih dikenal sebagai package utility atau nilai kegunaan kemasan. Jika wisata ziarah dikemas secara bagus dan cantik, maka para pengunjung pun tidak akan ragu-ragu untuk berkunjung bahkan mengiklankan objek wisata tersebut pada khalayak banyak.
Contohnya seperti di keraton kesultanan Yogyakarta, para punggawa dan pelayan kerajaan berseragam rapih dan sopan serta ramah terhadap setiap tamu. Tempatnya yang tertata rapih dan bersih, bentuk pelayanannya bersifat kekeluargaan, membuat para pengunjung betah berlama-lama di sana. Kalau pun sudah pulang, pasti akan teringat-ingat selalu.
Begitu pula objek wisata ziarah di luar negeri dikelola secara profesional, kunjungan di tempat-tempat ziarah Islam di luar negeri terkesan lebih prestigious. Sebutlah beberapa tempat seperti, masjid al-Haram di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah, masjid al-Aqsa di Yerusalem, Universitas al-Azhar di Kairo, masjid Biru di Turki, dan Istana Al-Hamra di Spanyol.
Obyek-obyek wisata ziarah Islam di luar negeri banyak dikunjungi pada saat bersamaan dengan waktu melakukan ibadah haji atau umroh. Dan dari hasil pengelolaan yang profesional di atas, sudah jelas terlihat berapa besar devisa yang didapat oleh negara dari tempat-tempat tersebut. Membandingkan tempat-tempat di luar negeri, tentu banyak hal yang perlu kita pelajari.
Dari fenomena ziarah dapat digali potensi ekonomi lokal yang dapat dimanfaatkan untuk masyarakat sekitar pula. Dan secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.
Mengingat cagar budaya merupakan aset bangsa yang nilainya sangat tinggi, sudah seharusnyalah seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah turut ambil bagian dalam hal melindungi dan melestarikan warisan budaya tersebut.
Tahun lalu dana sekitar Rp. 6 milyar yang berasal dari Departemen Pemukiman Prasarana Wilayah Pemda Serang dan Pemprov Banten dikucurkan untuk revonasi cagar budaya. Agar proyek itu berjalan lancar juga tidak menyimpang, maka pada tanggal 1 Juli 2002 dibentuklah tim koordinasi pelaksanaan program penataan kawasan Banten Lama tahun anggaran 2002 dengan SK Gubernur Banten No. 432-2/Kep.94/Huk/2002. Diharapkan dengan dana ini mampu merelokasi dan merenovasi tidak hanya cagar budaya saja, tetapi juga wisata ziarah.
Sehingga wisata ziarah – yang selama ini dianggap remeh – justru akan meningkatkan gairah perekonomian di sektor lain. Bahkan akan menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi kas negara dan turut mendongkrak taraf hidup rakyat. Dengan kata lain, wisata ziarah sebagai salah satu objek tujuan pariwisata adalah sangatlah perlu dan penting. Semoga!
Penulis adalah siswa kelas II SMUN 1 Serang
Aktif di Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Serang
Forum Lingkar Pena (FLP)Serang
Dan Pustakaloka Rumah Dunia (PRD) Serang