Indonesia Search Engine

Friday, September 30, 2011

MANGGA BUAH TROPIS


Mangga buah tropis yang banyak mengandung mineral dan vitamin
          Musim buah-buahan membuat Kota kita menjadi semarak dan banyak dikunjungi wisatawan. Tetapi akibat musim buah yang melimpah membuat daerah yang dekat Ibu Kota Jakarta ini menjadi kotor dan penuh sampah. Hampir tiap sudut jalan  banyak pedagang buah yang mangkal menawarkan dagangannya kepada calon konsumen. Buah-buahan yang kini banyak ditawarkan pedagang, antara lain mangga, durian, rambutan, salak dan cempedak. Sedangkan jeruk, lengkeng, apel, pir dan anggur hampir tak pernah kosong. Buah-buahan ini tak mengenal musim, termasuk buah impor yang menguasai pasar buah-buahan dimana-mana.
            Selain buah-buahan lokal yang berasal dari daerah sekitarnyatak sedikit yang datang dari kota-kota penghasil buah-buahan yang jauh. Seperti mangga banyak didatangkan dari Probolinggo, Pasuruan, Cirebon dan Indramayu.
Mangga sebenarnya termasuk buah primadona Indonesia yang banyak disukai orang dimana-mana. Selain memiliki aneka macam varitas, buah yang rasanya lezat dan beraroma harum ini banyak mengandung mineral dan vitamin yang dibutuhkan tubuh manusia.
            Meski Indonesia dikenal sebagai negara penghasil dan pusat keragaman jenis mangga, tetapi sampai saat ini belum dinyatakan sebagai pengekspor mangga. Indonesia masih kalah dengan Thailand, Philipina dan Mexico. Padahal tahun 1925-1930 Indonesia tercatat sebagai eksportir mangga yang waktu itu mencapai 2.500 ton.
            Dari mana asal tanaman ini? Menurut keterangan diduga berasal dari India dan Ceylon. Tanaman ini sudah dikenal umat manusia sejak 4.000 tahun silam. Ekspor mangga ke manca negara masih tergolong kecil, tetapi sudah dikenal di pasar Singapura, Hongkong, Korea, Taiwan, Eropa dan Arab.
            Menurut berbagai sumber sebenarnya permintaan luar negeri terhadap buah yang satu ini cukup banyak. Namun belum bisa dipenuhi terutama dalam hal kualitas, kuantitas dan kontinuitas suplai. Kelancaran transportasi, tingginya ongkos angkutan udara serta jalur tata niaga di dalam negeri masih menjadi penghambat.
            Di Mesir menurut cerita, buah mangga sudah menjadi komoditi ekspor yang menyumangkan devisa bagi negara itu. Tetapi sedikit orang yang tahu tentang asal muasal tanaman itu. Bibit tanaman itu  sebenarnya berasal dari Indonesia yang diberikan Presiden Soekarno kepada Presiden Mesir, Jamal Abdul Naser.
            Konon bibit yang berasal dari Balai Benih Hortikultura Pohjentreik Pasuruan pada tahun 1955 dikembangkan di Mesir. Dan bibit manggga itu yang kini mengangkat nama Mesir sebagai salah satu eksportir mangga di dunia. Oleh Presiden Mesir, mangga harumanis itu diberi nama Mangga Achmad Soekarno.
            Pada umumnya di Indonesia tanaman mangga belum dibudidayakan di kebun, tetapi masih merupakan tanaman pekarangan rumah. Di antaranya banyak yang ditanam dari biji. Tetapi dengan perkembangan teknologi, kini sudah banyak penduduk menanam mangga dari bibit unggul, seperti harumanis, golek, dermayu, si manalagi, gedong dan apel.
            Untuk meningkatkan  produktivitas serta menjadikan mangga sebagai sebagai komoditas ekspor andalan, hanya dapat diatasi bila dikelola secara profesional dengan sistem kebun.
            Sayangnya penanganan buah mulai dari panen hingga ke pusat pemasaran masih ditangani langsung oleh pedagang buah yang langsung membeli dari petani. Karena penanganan pasca panennya masih belum memenuhi syarat akibatnya resiko kerusakan buah menjadi sangat tinggi dan buah tidak dapat bertahan lama.
            Saat penen raya, pasar melimpah hingga resiko tidak laku dan rusak semakin tinggi. Dan sangat disesalkan buah yang melimpah ini belum banyak dimanfaatkan menjadi produk olahan yang berprospek lebih baik dalam pemasaran. Dari hasil penelitian di Indonesia, sebenarnya mangga kuweni yang beraroma kuat serta mangga kopyor yang berkadar air tinggi serta berserat kasar dapat diolah menjadi juice. Sedangkan mangga lain yang matang bisa dibuat manisan atau bubur mangga (purre) yang banyak diminati pasar dunia. Dari bahan purre ini bisa dibuat joice, selai dan dodol.

TOR Local Summit Investment Meeting

Tor: Term Of Reference
Local Summit Investment Meeting

I.         Tema dan Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan Diskusi interaktif. Tema ; pandeglang Povinsi Baten
II.        Dasar Pemikiran
Pertumbuhan ekonomi global yang ditandai dengan era perdagangan bebas dengan disepakatinya “Putaran Uruguay” memungkinkan bagi setiap negara untuk memacu perekonomiannya tanpa batas. Industrialisasi dan perdagangan menjadi cukup penting untuk membangkitkan perekonomian di suatu negara. Konsep pertumbuhan ekonomi memungkinkan bagi semua pihak melakukan tindakan proaktif yang saling berkaitan satu sama lainnya. Governance banking, governance investment, dan sejumlah governance lainnya menjadi kata kunci untuk menjalankan perekonomian global.
Demikian halnya dengan negara Indonesia, dengan segala keterbatasan terutama modal diharuskan untuk melakukan bargaining position dengan pihak-pihak lain terutama kalangan investor. Indonesian inftrastruktur summit yang belum lama ini di gelar di Jakarta merupakan langkah awal yang dilakukan pemerintah untuk mencari solusi pembangunan perekonomian di Indonesia. Langkah tersebut menghasilkan beberapa poin penting bagi pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, dan sejumlah proyek pembangunan inftrastruktur lainnya. Sesuai dengan anjuran dari World Bank, bahwa yang mesti dilakukan olrh pemerintah saat ini adalah membangun infrastruktur. Pemerintah saat ini, memang sedang mengalami kesulitan dalam masalah modal untuk membiayai intfrastruktur tersebut. Maka dalam pertemuan tersebut disepakati para investor untuk menanamkan modalnya.
Faktor situasi politik yang mulai stabil dan kepastian hokum serta adanya peningkatan perekonomian yang cukup signifikan membuat para investor bergairah kembali untuk menanamkan modalnya. Inilah awal untuk menjadikan dasar bagi pembangunan peningkatan ekonomi di era global.
Dari paparan tersebut, jelas ketidakberdayaan dari pemerintah adalah kurangnya modal untuk membiayai pembangunan. Ini juga tentu saja dialami oleh pemerintah di daerah-daerah. Otonomi daerah yang sudah berjalan memungkinkan bagi daerah untuk membangun daerahnya dengan cara bekerjasama dengan pihak lain. Untuk itu pemerintah hasus proaktif dalam mengkondisikan daerahnya agar menjadi daya tarik bagi para investor.
Pandeglang sebagai daerah yang masih minim inftrastruktur pembangunannya tetapi memiliki sejumlah potensi yang cukup potensial
untuk dikembangkan sebagai lead sector perekonomian akan menjadi daya tarik utama menarik minat para investor. Persoalaanya selama ini adalah kurangnya informasi, trust, dan kepastian hukum beserta sejumlah persyaratan administratif bagi investor sebagai jaminan investasi.
Persoalan perijinan misalnya selalu menjadi hambatan bagi kalangan investor untuk membangun usahanya di pandeglang. Citra pemerintah yang selalu mempersulit pengurusan perijinan membuat kalangan investor enggan untuk menanamkan investasi. Transparansi dan accessibility, masih cukup rendah. Padahal ini menjadi prasyarat untuk dapat menarik para investor. Kondisi sosio politik dan kepastian hukum juga belum dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk dijadikan jaminan dalam keberlangsungan usaha.  
Sikap ini kemudian menjadi masukan bagi pemerintah daerah, berdasarkan pengalaman tersebut, maka pemerintah daerah mulai membuka akses sebesar-besarnya bagi investor. Kemudahan tersebut dapat memungkinkan bagi investor untuk menanamkan modalnya di pandeglang.
Potensi yang dapat dijadikan dikembangkan adalah di bidang perkebunan, pertanian, pertambangan dan energi, pariwisata dan agribisnis. Sejauh ini telah mulai dikembangkan di beberapa sector seperti sector pariwisata; sentra wisata Carita, Pulau Umang, Tanjung Lesung, Cikoromoy, Wisata Ziarah dan Cisolong. Sector pertambangan; masuknya PT Aneka tambang dengan penambangan emas, Sektor perkebunan dengan rencana perkebunan kelapa sawit, dan kawasan agropolitan.
Dari sejumlah proyek tersebut, tentu pemerintah tidak mampu untuk membiayai pembangunan dan pengelolaanya. Maka solusi yang cukup maju adalah dengan menggandeng investor. Investor tentunya mau mendanai jika prasyarat dan jaminan berinvestasi memungkinkan.
Untuk menjawab sejumlah persoalan tersebut diatas, maka perlu adanya kesepahaman bersama baik dari pemerintah, investor, dan masyarakat.      

III.      Identifikasi Masalah
1.    Belum ada komposisi pengaturan (regulasi) kebijakan yang bersahabat dengan pasar.
2. Belum ada media partnership yang menyediakan acuan kerja pembukuan tentang investasi.
3.    Kesulitan dalam menentukan dan identifikasi wilayah yang akan
4.    dikembangkan secara proporsional.

IV.      Maksud dan Tujuan
Umum
Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk :
·         Mendorong pengembangan governance investment di daerah;
·         Percepatan upaya mewujudkan kerjasama (partnership) antara pemerintah daerah dan DPRD, investor (pelaku pasar), dan masyarakat.
Khusus
Secara khusus kegiatan ini bertujuan untuk :
·         Memperkuat kapasitas dan peran pemerintah dalam membuka ruang dan akses investasi;
·         Menjaring komunikasi dan akses pasar dalam mengundang investasi bagi pembangunan di pandeglang.
·         Upaya menggalang dan mengembangkan perekonomian lokal

V.       Out put dan In put
Input yang hendak dicapai :
1.    Pemerintah kabupaten bisa menentukan dan membuat regulasi (peraturan) kebijakan bagi para pemilik modal (investor) / investasi.
2.    Adanya perimbangan dan saling menguntungkan antara pemerintah dan investor.
Output yang hendak dicapai :
1.    Dengan adanya partnership yang jelas maka pemerataan dan percepatan pembangunan akan capat dirasakan oleh masyarakat.
2.    Akses investasi di pandeglang terbuka lebar.  

VI.      Sasaran

VII.     Metode Kegiatan
  • Metode Preskriptif sebagai cara yang ditempuh untuk melakukan transfer pengetahuan terhadap semua person yang terlibat dalam forum. Dengan metode preskriptif, konsep-konsep pokok yang menyangkut tema utama serta factor-faktor pendukung seperti regulasi pemerintah akan diberikan sebagai bahan diskusi.
  • Metode Elisitif, adalah metode yang digunakan untuk melakukan eksplorasi pengalaman. Metode Elisitif akan memfasilitasi pemaparan pengalaman empiric yang dialami setiap peserta dan fasilitator untuk memperkaya bahan ajaran di kelas.
  • Metode Partisipatif digunakan untuk memberikan kesempatan kepada segenap peserta pelatihan memberikan komentar, penilaian atau pengalaman untuk lebih memperkaya perspektif dan peristiwa-peristiwa khas yang sangat bermanfaat bagi semua peserta. Dengan metode pula kelas akan menjadi semarak oleh keterlibatan setiap peserta dengan beragam pemahamannya.

Kawasan Hutan dan Lahan Rehablitasi

Buku Indikasi Kawasan Hutan & Lahan
Yang Perlu Dilakukan Rehabilitasi Tahun 2003

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika juga berfungsi sebagai paru-paru dunia dan sistem penyangga kehidupan sehingga kelestariannya harus dijaga dan dipertahankan dengan pengelolaan hutan yang tepat.
Kondisi hutan, dilihat dari penutupan lahan/vegetasi, mengalami perubahan yang cepat dan dinamis, sesuai perkembangan pembangunan dan perjalanan waktu. Banyak faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut antara lain pertambahan penduduk, dan pembangunan diluar sektor kehutanan yang sangat pesat memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan dan produk-produk dari hutan. Kondisi demikian diperparah dengan adanya perambahan hutan dan terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan hutan alam tropika di Indonesia.
Kerusakan hutan tersebut diperkirakan seluas 900 ribu hektar setiap tahunnya yang disebabkan oleh kegiatan perluasan perkebunan (500 ribu ha/tahun), kegiatan proyek-proyek pembangunan (250 ribu ha/tahun), kegiatan logging (80 ribu ha/tahun), dan kebakaran (70 ribu ha/tahun) (Haeruman, 1989). Menurut data selama 12 tahun (1985-1997) angka degradasi dan deforestasi untuk pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi adalah 1,6 juta ha/tahun sebagai akibat penebangan liar, pencurian kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan, lahan dan kebun serta sistem pengelolaan hutan yang kurang tepat. Deforestasi dan degradasi hutan diperparah dengan terjadinya kebakaran hutan pada tahun 1997 di Pulau Sumatera dan Kalimantan, dengan kebakaran terbesar terjadi di Kalimantan Timur hingga mencapai ± 3,2 juta ha (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 1998). Dari hasil perhitungan untuk pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, diperkirakan laju deforestasi menjelang tahun 2000 telah melebihi angka 2,5 juta ha/tahun.
Sumber daya hutan yang telah mengalami kerusakan perlu direhabilitasi. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik setempat, yang meliputi aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Sebagai langkah awal upaya rehabilitasi, dilakukan penilaian aspek biofisik berupa kondisi penutupan lahan menurut kriteria kekritisannya. Identifikasi awal ini menghasilkan indikasi lokasi dan luas kawasan hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis.
Identifikasi yang dilakukan pada tahun 2001 merupakan penyempurnaan dari kegiatan yang sama pada tahun 2000. Identifikasi tahun 2000 hanya dilakukan pada kawasan hutan dengan menggunakan data hasil penafsiran citra Landsat liputan tahun 1996-1998 berdasarkan 2 (dua) kelompok kelas penutupan lahan yaitu hutan, dan non hutan.
Identifikasi tahun 2001 dilakukan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan dengan menggunakan data hasil penafsiran citra Landsat liputan tahun 1999/2000 kecuali Irian Jaya, yang dirinci menjadi 24 kelas penutupan lahan diantaranya hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, semak/belukar, pertanian lahan kering, sawah, tanah terbuka, pemukiman dll.
Kawasan hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi dibedakan dalam 3 (tiga) kelompok disesuaikan dengan perlakuan (treatment) yang akan dilakukan dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan RHL dapat berupa reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknik tergantung pada kelompok penutupan lahan tersebut.
Sebagai kelengkapan dan penyempurnaannya, maka pada tahun 2002 dilakukan perhitungan luas areal yang akan direhabilitasi secara indikatif untuk Provinsi Papua, yang kemudian hasilnya disajikan dalam buku edisi 2003 ini. Penyempurnaan perhitungan juga dilakukan pada provinsi yang telah mengalami pemekaran secara administratif dan data digitalnya sudah tersedia di Badan Planologi.
Hasil identifikasi adalah informasi luas kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi, serta informasi lokasi dan sebarannya yang disajikan dalam bentuk peta indikasi RHL. Hasil ini telah digunakan sebagai dasar penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta diharapkan dapat menjadi acuan perencanaan kegiatan operasional rehabilitasi di daerah.

Pengertian Umum
1.            Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap;
2.            Penutupan Lahan (land cover) adalah kondisi permukaan bumi yang menggambarkan kenampakan vegetasi;
3.            Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah tangkapan air mulai dari hulu sampai dengan hilir yang merupakan satu kesatuan tata air sebagai penyangga kehidupan yang utuh
4.            Reboisasi adalah kegiatan penanaman pohon di dalam kawasan hutan;
5.            Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan perananannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga;
6.            Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan peruntukannya untuk memproduksi hasil hutan dan hasil hutan ikutan;
7.            Hutan Produksi Terbatas adalah Hutan produksi yang hanya dieksploitasi dengan cara tebang pilih.
8.            Hutan Lindung adalah Kawasan hutan yang karena sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata air, pencegahan bencana banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
9.            Kawasan Konservasi adalah Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di lautan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya.
10.        Sistem Informasi Geografis adalah teknologi pengelolaan (input, updating, analisa, dan penyajian) data spasial/non spasial yang modern, terintegrasi dengan menggunakan perangkat yang terkomputerisasi;

Tujuan dan Sasaran
1.            Tujuan
Melakukan identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi dalam rangka penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) Daerah serta perencanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tingkat Provinsi dan Kabupaten.
2.            Sasaran
Tersedianya data luas dan peta indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi berdasarkan kelompok penutupan lahan dan batas Daerah Aliran Sungai (DAS) pada unit manajemen administrasi Provinsi dan Kabupaten.

Ruang Lingkup
1.            Kegiatan identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi diarahkan pada areal di dalam dan di luar kawasan hutan di seluruh Indonesia.
2.            Hasil identifikasi berupa data luas dan sebaran lokasi indikasi areal yang perlu dilakukan rehabilitasi yang disajikan dalam bentuk peta dalam satuan per pulau, per provinsi disertai perhitungan luas pada unit administrasi provinsi, kabupaten, dan DAS prioritas.
3.            Luas dan peta indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi adalah merupakan hasil awal yang bersifat umum, indikatif dan masih perlu didetilkan sesuai kondisi ekosistem dan pengelolaan di daerah terkait.
4.            Untuk mempermudah dalam implementasinya, indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi disajikan pada peta indikasi RHL pada format kertas F4 (skala disesuaikan) berdasarkan kelompok penutupan lahan.

Kriteria
Kegiatan identifikasi ini bersifat umum karena adanya keterbatasan data pendukung. Namun akan terus disempurnakan dengan data yang lebih akurat, terkini dan komprehensif. Memperhatikan ketersediaan data yang terbatas, untuk kegiatan ini dipergunakan kriteria sebagai berikut :
1.      Kawasan Hutan dan Lahan : identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi dilaksanakan pada kawasan hutan yang meliputi kawasan hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi (HP, HPT, HPK), serta lahan diluar kawasan hutan (APL)
2.      Penutupan lahan: identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi diarahkan pada kawasan hutan dan lahan kurang/tidak produktif dengan berdasarkan pada kelas penutupan lahan dari hasil penafsiran citra Landsat 1999/2000.
3.      Kepekaan lahan : hasil identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi didasarkan pada kriteria lahan kritis dengan tingkat erosi dan sedimentasi tinggi, digambarkan dan didekati dengan penggunaan data DAS dan DAS prioritas berdasarkan SK Menhut No. 284/Kpts-II/99 tanggal 7 Mei 1999.
Ketiga kriteria tersebut di atas digunakan dengan pertimbangan bahwa RHL secara indikatif akan dilakukan pada kawasan hutan dan lahan yang tidak produktif dan peka terhadap erosi.
BAB II
METODOLOGI

Data dan Sumber
Data Kawasan Hutan : Dipergunakan (a) Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan yang sudah ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan (23 provinsi) dan (b) Peta TGHK untuk provinsi yang belum selesai proses penunjukannya (3 provinsi meliputi Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Tengah) c) Untuk provinsi hasil pemekaran (Bangka Belitung, Banten, Maluku Utara dan Maluku) masih mengacu pada Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan pada provinsi awalnya.
Data Penutupan Lahan : Dipergunakan data penutupan lahan hasil interpretasi citra satelit (Landsat 7 ETM+) seluruh Indonesia tahun 1999/2000. Hasil identifikasi dibedakan kedalam 3 (tiga) kelompok penutupan lahan yang disesuaikan dengan perlakuan (treatment) kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Ketiga kelompok tersebut meliputi :
·         Kelompok I terdiri dari jenis penutupan tanah terbuka, semak/belukar, pertanian lahan kering bercampur semak. Kegiatan RHL yang dapat diarahkan pada kelompok ini adalah kegiatan reboisasi dan penghijauan.
·         Kelompok II terdiri dari jenis penutupan hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, hutan mangrove sekunder. Kegiatan RHL yang dapat diarahkan pada kelompok ini adalah rehabilitasi melalui kegiatan pengayaan tanaman.
·         Kelompok III terdiri dari jenis penutupan pertanian lahan kering, transmigrasi, sawah, pertambangan, dan permukiman. Kegiatan RHL diasumsikan tidak dilakukan pada seluruh areal dan dapat dilakukan melalui kegiatan teknik konservasi tanah.
Data DAS : Dipergunakan data digital DAS dari Ditjen RLPS dengan pemilahan DAS prioritas berdasarkan SK Menhut No. 284/Kpts-II/99 tanggal 7 Mei 1999.
Prioritas I : Wilayah DAS yang berdasarkan lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut mempunyai prioritas tertinggi untuk direhabilitasi.
Prioritas II : Wilayah DAS yang berdasarkan lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut mempunyai prioritas kedua untuk direhabilitasi
Prioritas III : Wilayah DAS yang berdasarkan lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut mempunyai prioritas ketiga untuk direhabilitasi
DAS bukan prioritas : Wilayah DAS yang berdasarkan lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut tidak perlu diberikan prioritas dalam penanganannya.
4. Data Administrasi : Dipergunakan batas administrasi pemerintahan propinsi dan kabupaten bersumber dari data BPS tahun 2000 yang kemudian disempurnakan berdasarkan masukan dari berbagai pihak .

Pengolahan dan Penyajian Data
Proses pengolahan data dari penyiapan data sampai dengan tersajinya hasil luas indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi berserta peta indikasinya adalah sebagaimana tersaji pada Bagan Alur Proses pada Gambar 1.








BAB III
ANALISA HASIL IDENTIFIKASI RHL

Identifikasi terhadap penutupan lahan menghasilkan data luas indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Data tersebut disajikan menurut kelompok perlakuan rehabilitasi yang akan diperlakukan, baik berdasarkan fungsi kawasan hutan dan areal penggunaan lain, menurut pulau dan kelompok pulau serta menurut batas administrasi provinsi dan kabupaten. Hasil penghitungan disajikan pada Tabel 1.: Rekapitulasi Luas Indikasi Kawasan Hutan dan Lahan yang Perlu Dilakukan Kegiatan Rehabilitasi Per Pulau/Kelompok Pulau dan Per Kabupaten.

Hasil Analisa Menurut Pulau dan Kelompok Pulau
Sebagaimana tersaji pada Tabel 1., Identifikasi RHL menunjukan bahwa kawasan hutan dan lahan yang memerlukan perlakuan rehabilitasi untuk seluruh Indonesia seluas 100,6 juta ha (+ 52,3 % dari luas daratan Indonesia), terdiri atas kelompok I seluas 46,3 juta ha, kelompok II seluas 38,8 juta ha, dan kelompok III seluas 15,5 juta ha.
Pulau Kalimantan memiliki areal terluas yang perlu direhabilitasi, yaitu 34,5 juta ha, diikuti Pulau Sumatera 29,8 juta ha, Pulau Sulawesi 11,5 juta ha dan Pulau Jawa 10,8 juta ha. Sedangkan kelompok pulau lain di bawah 10 juta ha.

Hasil Analisa Menurut Kabupaten per Provinsi
Perhitungan indikasi areal yang perlu direhabilitasi dilakukan menurut batas administrasi kabupaten pada tiap provinsi dan dirinci menurut fungsi kawasan dan areal penggunaan lain, DAS prioritas dan kelompok perlakuan. Penyempurnaan pada edisi tahun ini adalah perhitungan menurut batas administrasi kabupaten hasil pemekaran, yaitu pada Provinsi Nusa Tenggara Timur dari 13 kabupaten menjadi 14 kabupaten. Beberapa provinsi yang telah melakukan pemekaran baik tingkat provinsi maupun kabupaten belum dapat dilakukan perhitungan kembali karena data digital batas administrasi provinsi atau kabupaten belum tersedia di Badan Planologi Kehutanan.
Hasil perhitungan luas areal yang perlu direhabilitasi menurut kabupaten per provinsi, tercantum pada lampiran 2, beserta peta areal yang perlu direhabilitasi per provinsi.

Hasil Analisa Menurut Fungsi Kawasan
Identifikasi RHL berdasarkan fungsi hutannya menghasilkan data luas kawasan hutan yang memerlukan perlakuan rehabilitasi adalah seluas 59,2 juta ha yang terdiri dari Hutan Lindung seluas 10,4 juta ha, Suaka Alam dan Pelestarian Alam seluas 4,6 juta ha, Hutan Produksi Tetap seluas 19,2 juta ha, Hutan Produksi Terbatas seluas 12,9 juta ha, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 12,1 juta ha.
Kawasan hutan di Pulau Kalimantan memiliki areal terluas untuk direhabilitasi dengan total luas 24,6 juta ha, terutama di kawasan hutan Produksi yaitu seluas 10,6 juta ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 6,1 juta ha. Sedangkan kawasan hutan di Pulau Sumatera diindikasikan seluas 4,5 juta ha di Hutan Produksi, seluas 4,0 juta ha di Hutan Produksi Konversi dan 3,5 juta ha di Hutan Lindung, yang memerlukan perlakuan rehabilitasi.
Pada kawasan hutan di Pulau Sulawesi diindikasikan 5,6 juta ha perlu direhabilitasi meliputi 2,3 juta ha di Hutan Lindung, 1,8 juta ha di Hutan Produksi Terbatas, 0,9 juta ha di Hutan Produksi dan 0,5 juta ha di KSA-KPA. Di Pulau Jawa kawasan hutan yang perlu direhabilitasi seluas 1,7 juta ha dengan 0,4 juta ha di Hutan Lindung, 0,9 juta ha di Hutan Produksi, 0,2 juta ha di Hutan Produksi Terbatas dan di KSA-KPA. Selengkapnya luas indikasi areal yang perlu direhabiitasi per provinsi per fungsi hutan tercantum pada Lampiran 1.
Untuk areal di luar kawasan hutan yang memerlukan perlakuan rehabilitasi adalah seluas 41,5 juta ha, terdiri atas kelompok I seluas 23,7 juta ha, kelompok II seluas 5,7 juta ha dan kelompok III seluas 12,1 juta ha.
Hasil Analisa Menurut Kondisi DAS
Berdasarkan DAS Prioritas, areal indikasi yang perlu perlakuan kegiatan RHL pada DAS Prioritas I seluas 13,5 juta ha, DAS Prioritas II seluas 24,1 juta ha dan DAS Prioritas III seluas 23,1 juta ha. Sedangkan areal indikasi RHL pada DAS bukan prioritas seluas 39,8 juta ha. Hasil selengkapnya tercantum dalam Tabel 2.
Tabel 2.: Luas indikasi areal rehabilitasi berdasarkan DAS prioritas (Juta Ha)
DAS

Kawasan Hutan






APL
Total
Luas Indikasi

Kawasan Hutan Tetap




HPK
Total

HL
KSA-KPA
HP
HPT
Total
Prioritas
I
1,7
0,9
2,0
1,2
5,8
1,9
7,6
5,9
13,5
II
2,4
0,7
4,8
3,6
11,5
2,0
13,4
10,7
24,1
II
2,1
1,0
7,3
3,4
13,8
4,2
18,0
5,1
23,2
Tidak Prioritas

4,3
2,0
5,1
4,7
16,1
4,0
20,1
19,8
39,8
Total per fungsi

10,4
4,6
19,2
12,9
47,1
12,1
59,2
41,5
100,6
Hasil perhitungan secara lebih rinci disajikan pada, dan untuk peta indikasi RHL per provinsi disajikan pada Lampiran 2.













BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
1.      Hasil awal yang disampaikan pada laporan ini perlu diterjemahkan dengan hati-hati sesuai dengan kondisi ekosistem dan pengelolaan kawasan pada propinsi atau daerah setempat, terutama dalam hubungannya dengan kelompok penutupan vegetasinya.
2.      Sesuai dengan kondisi penutupan lahan/vegetasinya:
a)      Kelompok I seluas 46,3 juta ha perlu menjadi prioritas dalam kegiatan RHL dengan pola reboisasi.
b)      Kelompok II seluas 38,8 juta ha yang merupakan kelompok penutupan vetegasi yang terdiri dari hutan sekunder dapat dimasukkan dalam kegiatan rehabilitasi dengan pola pengayaan tanaman, atau permudaan alam.
c)      Kelompok III seluas 15,5 juta ha yang umumnya berada di luar kawasan hutan dapat dilakukan rehabilitasi dengan pola penghijauan yang disesuaikan dengan kondisi biofisik (iklim dan jenis tanah).
SARAN :
1.      Hasil identifikasi awal kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi masih bersifat indikatif. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan analisa lebih lanjut berkaitan dengan hasil identifikasi ini adalah:
·         Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan untuk 3 propinsi yang belum tuntas sehingga dalam identifikasi ini masih menggunakan Peta TGHK.
·         Penyesuaian dengan data DAS dan batas administrasi pemerintahan yang terbaru;
2.      Untuk pelaksanaan operasional kegiatan rahabilitasi hutan dan lahan, data dan persiapan yang dibutuhkan oleh pelaksana di daerah antara lain adalah:
·         Data persebaran penduduk dan sosial budaya setempat untuk mengetahui pola penggunaan sumber daya lahan di dalam kawasan hutan (agroforestry) maupun di luar kawasan hutan, sebagai salah satu bahan dalam perencanaan kegiatan rehabilitasi;
·         Kondisi areal yang berkaitan dengan kondisi ekosistem (biofisik) dan pengelolaan kawasan serta infrastruktur setempat yang tersedia.
·         Pelaksanaan checking lapangan terhadap hasil identifikasi areal yang perlu direhabilitasi.

berita nusantara

ShareThis

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...